Oleh Nurani Soyomukti, penulis 17 buku tema sosial-politik dan kordinator Quantum Litera Center (QLC) Trenggalek
Sebagaimana saya prediksikan dan sekaligus saya
harapkan, Pemilihan bupati dan wakil bupati Trenggalek telah membuahkan
hasil yang memnggembirakan.
Pasangan Mulyadi-Kholik (M-K) memenangkan pertarungan memperebutkan suara rakyat Trenggalek dengan gemilang.
Gelagat kemenangan ini kelihatan nyata pada saat kampanye terakhirnya yang mendatangkan pasangan Rano Karno dan pawai budaya yang dihadiri dan ditonton massa yang membludak.
Pasangan Mulyadi-Kholik (M-K) memenangkan pertarungan memperebutkan suara rakyat Trenggalek dengan gemilang.
Gelagat kemenangan ini kelihatan nyata pada saat kampanye terakhirnya yang mendatangkan pasangan Rano Karno dan pawai budaya yang dihadiri dan ditonton massa yang membludak.
Sebelumnya,
tokoh muda mantan aktifis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menjadi
anggota DPR/RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Budiman Sujatmiko, juga sempat meyakinkan pada massa dalam kampanye di Pantai Prigi bahwa Pak Mulyadi akan membawa perubahan bagi masyarakat
Trenggalek. Saya sempat menyambangi Bung Budiman di tempat istirahatnya
di Hotel Hayamwuruk sebelum ia bicara di depan lurah (kepala desa)
se-Trenggalek di KHK Durenan. Budiman Sujatmiko adalah pembina Parade
Nusantara (Paguyuban kepala desa se-Indonesia yang saat ini sedang
memperjuangkan adanya Undang-undang yang mengatur otonomi dan
kesejahteraan desa. Beberapa kali Parade Nusantara melakukan aksi
besar-besaran di Istana Negara untuk mengekspresikan tuntutannya.
Rakyat
sudah memilih, siapa yang menang dan siapa yang harus menerima
kekalahan sudah ada. Yang dipilih rakyat harus diberi kesempatan
memimpin, dan yang mendapatkan suara sedikitpun juga harus menghormati
hasil pemilihan. Sebagaimana seorang kawan yang menjadi pendukung dan
donator dari salah satu tim yang kalah pada saya tentang kekalahan
calonnya, Harsam (Soeharto-Samsuri), pada saya setelah saya kirim sms
padanya “GIMANA MAS, KANJENGMU KOK KALAH?”—dia menjawab: “HEHEHE… 10
HARI YANG LALU GELAGATNYA SUDAH KELIHATAN SICH… LHA, MODALNYA HABIS DI
TENGAH JALAN… HEHE… ORA OPO-OPO. MOGA TETAP YANG TERBAIK YANG DIPILIH
RAKYAT!”
BEBERAPA CATATAN
Ada beberapa catatan yang saya buat dalam pemilihan Bupati Trenggalek 2010 ini. Pertama,
tokoh yang pernah pemimpin di masa lalu dan pernah kalah dalam
pertarungan dalam pilkadal sebelumnya ternyata masih dapat memenangkan
pertarungan, yang artinya masih diinginkan oleh rakyat.
Mulyadi
pernah memimpin Trenggalek sejak 2000 hingga 2005 tetapi kalah dalam
pemilihan langsung pertama kali di Trenggalek pada tahun 2005, kalah
dengan pasangan Soeharto-Machsun Ismail. Memahami situasi di mana
rakyat Trenggalek masih menginginkan dia tampil kembali dan dorongan
beberapa tokoh masyarakat, Pak Mul memberanikan tampil
maju dalam bursa pencalonan bupati Trenggalek. Akhirnya ia maju dengan
alat politiknya, koalisi PDIP dan PKB, yang kemudian juga didukung oleh
partai kecil.
Kedua,
kemenangan Pak Mul membuktikan bahwa isu populis merupakan isu yang
masih laku di hadapan masyarakat. Pak Mul memang meninggalkan kebijakan
pemerintah yang baik bagi rakyat, ia tak meninggalkan cacat dan bersih
dari kasus korupsi. Program yang ditawarkannya dalam kampanye juga
menunjukkan bahwa rakyat butuh pelayanan yang baik dan tidak
berbelit-belit. Program mengurus surat dan identitas kependudukan
seperti akta kelahiran, Kartu Tanda Pendudukl (KTP), Kartu Keluarga
(KK), dll yang ditawarkannya menurut saya merupakan isu yang paling
populis dan menjawab kontradiksi yang menurut rakyat sangat menyulitkan
keberadaannya.
Program
yang dibungkus dengan label “Pro-Rakyat” memang yang dibutuhkan
rakyat. Kehadiran Pak Mulyadi juga mengingatkan memori rakyat pada
indahnya dan mudahnya pelayanan publik di masa lalu, misalnya mengurus
surat-surat dan identitas kependudukan hanya
sampai kecamatan yang membutuhkan biaya murah dan waktu yang cepat.
Selain itu juga pasti karena fakta bahwa selama 5 tahun diperintah oleh
Soeharto-Machsun, rakyat Trenggalek mengalami penderitaan nasib dan
perasaan benci pada pemerintah. Kita tentu ingat bagaimana puluhan anak
muda berkumpul mendiskusikan bagaimana cara menolak rekrutmen PNS yang
sarat makelar, mafia, dan kolusi, dan komersialisasi: hanya yang membeli
dengan harga 75-125 juta yang lolos. Meskipun pada akhirnya aksi
anti-CPNS Busuk itu ditunggangi oleh para aktifis makelar juga, jelas
gema kebencian terhadap birokrasi yang disimbolkan oleh kepemimpinan Soeharto-Machsun masuk dalam alam bawah sadar massa , terutama anak-anak muda.
Rusaknya jalan dan minimnya infrastruktur, biaya kesehatan yang mahal dan sarat pungutan liar, penggusuran pedagang kecil
dan pasar tradisional oleh kapitalisme retail (Indomart, Alfamart,
dll), harga beras anjlok dan mahalnya sarana produksi (saprodi) bagi
kaum tani, kesan pribadi Pak Soeharto sebagai bupati yang oleh banyak
orang dipandang “pidatonya buruk, normatif, gak berisi” dan
“intelektualnya kurang” atau “diatur oleh bawahan” juga mempersulit
calon Incumben ini untuk terpilih kembali.
Ketiga, ada kesalahan Incumben juga ketika memilih Pak Samsuri sebagai wakilnya. Seharusnya
Pak Harto merangkul calon dari luar birokrasi yang merupakan tokoh
populis atau dari kalangan partai besar yang memiliki struktur jelas.
Pak Samsuri memang tokoh yang cerdas dengan tingkat intelektual dan
kemampuan orasi yang membuat pendengarnya mudah memahami. Tetapi ia
hanya dikenal oleh para pejabat, terutama di tingkatan desa yang memang
tahu kepandaian dan intelektualitasnya karena hanya tokohg dan aparat
pedesaan yang memungkinkan diundang di pendopo atau di acara-acara
pemerintahan.
Rakyat
mayoritas jelas tak pernah tahu kepandaian Pak Samsuri. Tambahan lagi,
pak Samsuri (tokoh yang berasal dari desa yang sama dengan saya ini)
pernah tersandung kasus korupsi meskipun masih sebatas tuduhan. Berbeda
dengan kompetitornya (Harsam dan Mahir), kemenangan Pak Mul jelas
didukung oleh faktor alat politik, yaitu berangkat dari koalisi partai
besar (PDIP-PKB) yang tentu memiliki struktur yang luas dan massa yang
riil.
Lepas
dari itu, rakyat Trenggalek membutuhkan perubahan nasib yang lahir
dari kebijakan nyata pemerintahan Pak Mulyadi dan Pak Kholik.
Mudah-mudahan beliau bisa memenuhi harapan kita
semua. Tentu kita sebagai rakyat juga harus melakukan control dan kritik
apabila ada hal-hal yang menyimpang dari janji-janji dan harapan massa
rakyat Trenggalek yang ingin sejahtera, aman, dan tentram!***